Pages

Ads 468x60px

Minggu, 30 November 2014

Aku Malu dan Rindu Padamu

http://shofayusuf.yu.tl/files/lovehusain.jpg

Aku tertidur dan bermimpi, merasakan kematian. Letih dan sedih bercampur dengan rasa takut. Saat jasadku dibawa ke liang kubur, rasa takut makin mencekam.
Para penggali kubur meletakkan aku di dalam lubang yang sempit. Tak ada dayaku, ketika mereka menimbuniku dengan tanah.
Sejenak masih kudengar suara-suara doa, bacaan Al-Fatihah, serta tangisan. Tapi, segera saja suara-suara itu menghilang. Mereka pergi. Gelap dan sepi. Aku sendirian dan tanpa daya. Tak pernah selama ini aku merasa setakut ini.
Aku berteriak, tapi tak ada yang menjawab. Haus dan lapar mendera. Tapi, siapa yang akan memberiku minum atau makan?
Tiba-tiba saja pandanganku mampu menembus langit-langit kubur. Kusaksikan dua makhluk dengan wajah yang sangat menakutkan mendatangiku. Inikah Munkar dan Nakir itu?
Ternyata benar. Satu di antaranya bertanya: “Siapa Tuhanmu?”. Yang satunya bertanya, “Apa agamamu?”. Lalau, pertanyaan demi pertanyaan lainnya menyembur dari mulut kedua malaikat itu. Semua pertanyaan itu sangat sederhana. Tapi, suara mereka yang menggelegar membuat tenggorokanku tercekat. Mata tajam mereka seakan menembus relung hati yang paling dalam.
Aku tak bisa berbohong. Aku hanya diperbolehkan menjawab dengan kata-kata yang benar. Berkelebatan dalam benakku, tentang siapa yang selama hidupku ini aku jadikan sebagai Tuhan dengan sebenar-benarnya. Siapakah yang kujadikan panutan? Kata-kata siapa yang lebih kuikuti dengan sungguh-sungguh?
Benarkah aku beriman kepada hari akhirat, hari ketika semua amalanku harus kupertanggungjawabkan? Lalu mengapa aku masih berani bermaksiat secara diam-diam seakan-akan hari akhirat itu tak ada?
Benarkah aku mempercayai keberadaan para malaikat penulis amalan? Duhai diriku! Sedikit sekali amal kebaikanku, dan bertumpuk-tumpuk keburukanku.
Kuingat dengan jelas kualitas salat-salatku. Berkelebatan segala macam sifat-sifat dan perlakuanku kepada orang-orang terdekat.
Aku diam saja, dan mereka marah! Nafas mereka berderak mengeluarkan api dan asap. Mereka bertanya dan bertanya lagi, dengan suara yang lebih menggelegar dan lebih menakutkan.
Mereka bertanya tentang waktu yang kugunakan dan harta yang kumiliki. Aku makin terdiam. Dadaku sesak dan otakku gelap.
Dan mereka makin marah. “Baiklah, semuanya sudah jelas dan selesai,” kata salah satu di antara mereka, “inilah kata-kata terakhir dari kami, dan ini merupakan vonis bagimu wahai manusia.”
“Vonis?” tanyaku dalam hati. “Tapi secepat itukah mereka mengambil keputusan?” Kata-kataku ini hanya bergaung dan berputar di rongga dada. Tak ada yang keluar dari mulutku manakala satu malaikat yang lain dengan nada yang masih memunjukkan kemarahan berkata dengan kejam,
“Jadi, telah kau sia-siakan usiamu, wahai manusia. Yakinlah bahwa catatan amalanmu penuh dengan noda hitam yang merekam dosa-dosa. Jahannam-lah tempatmu. Kini, kau harus merasakan akibat dari perbuatanmu selama di dunia.”
Aku hanya bisa tertunduk lesu. Tak ada yang bisa kulakukan manakala rantai panas dan kuat muncul entah dari mana, dan mulai akan membelit tangan dan kakiku.
Inilah akhir dari semuanya. Hanya rasa sesal yang tersisa. Tapi apa gunanya penyesalan? Semuanya sudah serba terlambat.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku mencoba berteriak sekeras-kerasnya: teriakan meminta tolong! Tapi tak ada yang keluar dari mulutku. Teriakanku kembali hanya bergaung di dalam hati. Tentu saja tak mungkin ada yang bisa menjawab teriakan permintaan tolong ini.
Tiba-tiba aku teringat satu peristiwa tentang teriakan yang bergaung menyelusup di sela-sela deru angin sahara dan tawa manusia-manusia durjana; teriakan permintaan tolong yang tak berjawab.
Aku ingat, betapa aku selalu menangis kalau teringat peristiwa itu. Dan mulutku tiba-tiba mampu bergumam lirih, “Ya Husein mazhlum.”
Lalu, langit di atasku kembali terbuka. Seberkas cahaya menyeruak, membawa sosok yang wajahnya disinari cahaya. Bajunya putih berkilau, dan ia mengenakan serban berwarna hijau yang menyejukkan mata. Wajahnya luar biasa tampan. Cahaya keindahan dan harum wangi tubuhnya membuat suasana langsung berubah. Ada hawa kesejukan dan wewangian yang mampu mendesak keluar semua ketakutan dan rasa panas di tempat itu. Dan aku mulai bisa bernafas lagi.
Dua malaikat itu seperti terperangah. Mereka membungkuk tanda takzim kepada sosok yang datang, lalu bertanya, “Wahai putera Fathimah, ada apa gerangan Anda kemari? Ini bukan tempat Anda. Ini adalah tempat pengadilan sekaligus pelaksanaan hukuman bagi manusia-manusia pendosa.”
Putera Fathimah? Benarkah dia adalah Al-Husein, pemilik syafaat di hari kiamat? Tanyaku dalam hati. Bagaimana mungkin?
“Lepaskan hamba Allah ini,” kata sosok itu dengan tegas.
“Tapi Tuan,” kata salah satu dari mereka menyela. “Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa amal perbuatannya di dunia ...”
“Kataku, lepaskan!” katanya dengan nada yang lebih tegas lagi. “Dia adalah pecintaku.”
“Tidak mungkin, Tuan,” sela malaikat yang lain. “Pecintamu tak mungkin berani berbuat maksiat sebanyak ini. Engkau mengorbankan jiwamu demi menegakkan agama Allah, sedangkan orang ini tak henti-hentinya hanya menjadikan agamanya sebagai cara untuk meraih kehidupan dunianya. Amal perbuatannya bertentangan dengan cita-cita perjuangan Anda, Tuan.”
“Kalian benar. Tapi para pecintaku memang tersebar dari mulai orang saleh hingga para pendosa. Dan Allah Yang Mahakuasa memberikan kepadaku hak mutlak untuk menyelamatkan siapapun yang kuanggap sebagai pecintaku.
“Biar kujelaskan kepada kalian tentang siapa sebenarnya hamba Allah ini. Ketika hari-hari Asyura dan Arbain tiba, ia mengenakan pakaian duka. Dia selalu menangis ketika membaca kisahku di Karbala. Cita-cita setelah berhaji dan berziarah ke makam datukku, adalah berziarah ke pusaraku, meskipun itu tak sempat kesampaian, karena dia tak punya kesempatan dan uang untuk safar. Dia tak melepaskan keimanannya kepada Ashabul Kisa, meskipun banyak yang mencemooh, bahkan mengancamnya. Dia ajari anak-anaknya untuk mengenal kami, keluarga suci kenabian. Ketika salat dan sujud, dahinya menempel di atas kepingan turbah yang berasal dari pusaraku. Ini semua adalah tanda kecintaannya kepadaku.
“Tempat orang ini bukanlah di sini. Anggaplah bahwa dia adalah budakku, dan aku adalah tuannya. Ketika seorang budak disiksa, tuannya pasti akan marah kepada yang menyiksa. Aku pun tak rela meyaksikan budakku disiksa. Apalagi dia tadi memanggil namaku.
“Tempatnya bukan di sini, karena Jahannam adalah tempat yang bisa disaksikan oleh semua manusia. Apa jadinya jika musuh-musuhku menyaksikan orang ini disiksa? Mereka tentu akan bergembira, dan kami, keluarga suci kenabian, pasti akan berduka. Pecinta Ahlul Bait Nabi nasib akhirnya disiksa di neraka? Tidak! Itu tidak mungkin.”
Para malaikat terdiam. Kemarahan dan kebengisan mulai mengendur dari wajah keduanya. Di saat rantai di tangan dan kakiku mulai mengendur, akupun terbangun dari tidur. Peluh bercucuran di sekujur tubuh. Kutengok wajahku di atas cermin. Mataku sembab karena menangis. Aku sepertinya memang betul-betul menangis sepanjang tidur, dan masih terus menangis hingga kini. Ini adalah air mata ketakutan, kebahagiaan, kerinduan, cinta, dan malu. Aku rindu dan sekaligus malu padamu, ya Husein.
Aku segera berwudhu untuk shalat malam. Kubaca Al-Quran dengan perenungan. Bukankah ini yang dicontohkan oleh Al-Husein? Assalamu’alaika ya Aba Abdillahil-Husein.

Persembahan untuk para pecinta Imam Husein. Menjelang Arbain 1436 H.

 

SHOFANESIA.COM
SHOFANESIA.COM